TUHAN, Inikah Takdirku (Part 1)
Ini bukan sebuah dongeng, bukan juga sebuah
cerita film dan bukan pula kutipan buku. Namun sebuah kisah nyata yang ku
saksikan langsung dengan mata kepalaku sendiri (bukan sebuah rekaman juga
lho...).
Kisah ini berawal dari pertemananku dengan
seorang wanita yang dipertemukan dipetualangan ku berorganisasi. Sebut saja
namanya Waddah (maaf kalau nama samaran ini, ada pembaca yang sama persis
dengan nama samaran tersebut... maaf yah), aku mengenalnya karena takdir, iya
takdir. Takdir Tuhan menempatkan aku satu kelompok dengannya sewaktu menjalani
kegiatan organisasi pada saat itu didaerah terpencil.
Pada saat kami menjalani pertemanan, kami
saling berbagi cerita dan pengalaman hidup kami masing-masing, saling mengenal
latar belakang kami dan bahkan begitu dekatnya pertemanan itu, WADDAH dengan
jujur dan terbuka menceritakan segala seluk beluk kehidupannya dan orang
disekitarnya termasuk teman yang satu kampus dengan dia.
Waddah adalah seorang gadis yang menempuh
bangku kuliahnya disalah satu kampus kesehatan terkemuka dikota tempatku juga
menuntut ilmu. Kampus kami juga bertetangga sehingga kalau aku tidak punya
jadwal kuliah atau kuliahnya lagi tidak ada dosen, aku biasa langsung sms atau
telfon dia untuk sekedar melihat kabarnya atau bahkan mendengarkan curhatannya.
Yah.. begitulah sifatku pada saat itu, aku bahagia bisa menjadi teman curhatnya
(jangan suuzon yah...).
Hari demi hari kami jalani dengan saling
memotivasi, mengingatkan dalam kebaikan, dan juga sesekali bercanda gurau
(tetap jaga hijab kok’). Namun suatu hari diteras sudut kampus aku melihat
Waddah menyendiri, ada yang berbeda dari raut muka temanku pada saat kupandangi,
tak seperti biasanya periang dan senyuman pun juga tak terlihat lagi. Seperti
bunga mawar yang tak dirawat sehingga layu dalam kekeringannya. Akupun
menghampirinya dan Percakapanpundimulai:
Abraham : assalamu alaikum Wr. Wb. waddah...
kamu kenapa? kok muka kamu tidak seperti biasanya.
Waddah : walaikum salam Wr. Wb. Abraham...
aku nggak apa-apa kok’ ham... aku lagi bete ajah ini hari, kamu gimana kabarnya
hari ini?
Abraham
: aku baik-baik saja’... kamu tuh’
kayaknya ada yang kau sembunyikan dari aku. Ingat waddah, kita sahabat
sekaligus teman kan? kalau kamu merundung sedih begini aku sebagai sahabatmu
juga ikut sedih. Tolonglah, coba kamu cerita masalah kamu apa? Pasti aku bantu
kok’ (sambil merengek dan memegang tangan waddah)
Waddah
: tidak bisa ham’ (sambil
menangis dan memeluk abraham), kali ini curhatanku aku tak bisa ceritakan sama
kamu. Biar aku yang menanggungnya sendiri, kamu tak usah tahu dan membantu aku.
Terima kasih ham’ selama ini kamu sudah jadi teman sekaligus sahabatku yang
baik, mungkin kita akhiri saja pertemanan kita ini. Aku tak ingin merepotkanmu
hanya dengan masalahku ini (sambil melepas tangan abraham dan berpaling dari
pandangannya lalu pergi dari sudut teras kampus dengan alasan katanya dosennya
sudah ada).
Abraham
: waddah... (sambil berteriak
memnggil nama waddah berulang-ulang).
Setelah pertemuan kali itu diteras kampus, aku
dan temanku waddah tak pernah lagi berkomunikasi baik lewat via sms, telfon,
medsos atau ketemu langsung dikampus. Itulah pertemuan terakhirku dengannya,
terkadang aku menanyakan kabarnya lewat temannya saja atau juniorku dikampus
yang mempunyai kos bertetangga dengan waddah. Namun jawaban mereka belum
memuaskanku kalau tak ketemu langsung dengan waddah. Pernah aku melihatnya
lewat dihalaman kampus namun dia selalu mengetahui keberadaanku sehingga dia
langsung cepat menghindar dari aku secepatnya.
Akupun tak menyerah dan tak putus asa ingin
mengetahui masalah apa yang menimpa sahabatku ini, kenapa dia rela memutuskan
pertemanan denganku, apakah masalah ini ada hubungannya dengan pertemanan
kami,,,yah itulah pertanyaan-pertanyaan yang menggerogoti pikiran dan jiwaku
saat itu. Aku pun sesekali mendatangi kosnya langsung namun setiap kudatangi
pintu kosnya selalu tertutup rapat dari dalam.
Tiga bulan lamanya aku atak pernah lagi
melihat waddah ataupun mendengar kabarnya, yang ku tahu bahwa ia lagi ada
praktek kuliah diluar kota. Aku pun setiap harinya selalu dibanyangi
pertanyaan-pertanyaan yang menghantuiku. Pertemanan yang kupikir akan berlanjut
hingga maut memisah namun ternyata terpisah juga dengan tak tahu apa
penyebabnya.
Singkat cerita, Suatu malam aku berkunjung ke
kos temanku yang juga kuliah dikampus tempat waddah juga menimbah ilmu
kesehatan (sebut saja nama samarannya IKKA). Aku tak sengaja mendengar omongan
dari tetangga kos temanku itu, mengatakan bahwa ada mahasiswi kesehatan yang
hamil diluar nikah. Pada saat itu, aku meresponnya biasa-biasa saja sembari
menikmati kopi yang disajikan temanku IKKA. Namun ketika suara itu terdengar
nama WADDAH disebut bahwa ia yang hamil, akupun langsung kaget dan campur emosi
serta tak percaya kalau WADDAH yang mereka maksud dalam pembicaraan mereka.
Akupun diam sembari mendengar lanjutan cerita mereka yang begitu terdengar
serius. Ketika terdengar pembicaraan mereka bahwa “malam ini akan ada niat
teman waddah untuk membantunya menggugurkan kandungannya dengan cara aborsi”.
Akupun kaget tak karuan bercampur penasaran serta emosi (tanpa tunggu waktu
lagi, aku langsung bergegas kekos sebelah menanyakan kebenaran itu).
Mereka yang menceritakan niat waddah,
kupandangi dengan serius dan tatapan emosi bercampur pikiran tak percaya (kok’
bisa?? Apa benar yang kalian ceritakan itu?). mereka pun menjawab dengan nada
yang serius :”iya benar, kalau kamu nggak percaya pergi saja lihat sendiri
dikos waddah sekarang”. Tanpa kata, aku pun langsung bergegas pergi menuju kos
waddah yang berjarak tidak jauh dari kos IKKA.
Diperjalanan menuju kos waddah, aku berlari
sambil berdoa...”mudah-mudahan ini tidak benar adanya”. Sesampai disana kulihat
sandal yang berjejeran depan pintu kos waddah. Aku pun langsung mengetuk pintu
kosnya namun kuperiksa seperti biasanya ternyata kosnya terkunci dari dalam
lagi.
Akupun tak bisa sabar lagi melihat kebenaran
cerita itu, aku langsung mendobrak pintu kosnya dengan tenaga yang kumiliki.
Aku kaget saat aku masuk melihat darah yang tumpah berserakan dari
lantai-lantai kos yang kutatap dengan kaget dan sembari mengucapkan kalimat
“istighfar”...
Namun kata terlambat adalah pas untukku pada
kejadian itu. Temanku waddah kupandangi matanya sudah tertutup sambil raut muka
yang kesakitan, keperiksa denyut nadinya namun tak berdetak lagi, darah yang
berserakan menutupi lantai putih yang bersih, kain sarung tak bermotif lagi
dikarenakan campuran darah, obat-obatan dan suntikan terlihat pula pada
pandangan mataku, orang disekelilingnya terlihat sedih dan bercampur kaget
serta panik, dan juga ku pandangi seorang diri lelaki dikejadian itu yang raut
mukanya begitu sangat merasa kehilangan.
Ucapku “innalillahi
wa inna ilaihi rajiun” saat mengusap
wajah waddah. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan pada saat itu, yang ku tahu
aku mengikhlaskan temanku Tuhan. Ternyata selama ini, dia menyembunyikan
kehamilannya demi tak ingin aku terlibat dalam masalah ini. Tak ada yang
kusalahkan dalam kejadian itu, selain diriku sendiri karena tak pernah
mengingatkan temanku ini tentang Al-qur’an surat AL-ISRA: 32 dan AN-NUR: 30-31.
PESAN “seperti telur diujung tanduk, seperti
balon plastik tipis mainan anak-anak, seperti perhiasan ataupun berlian yang
sejatinya dijaga dan dipelihara bukan untuk dirusak hingga tak ternilai
harganya”
BY: 01setengah
Komentar
Posting Komentar